Arsip Bulanan: Maret 2021

Dakwah adalah kewajiban setiap muslim, siapapun dia tanpa memandang status sosial ataupun status keagamaannya. Dakwah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim sebagai perwujudan dari sabda Nabi ballighuunii wa law aayatan.(sampaikan apa yang ada padaku walaupun hanya satu ayat saja). Jadi untuk berdakwah tidak perlu menunggu menjadi Ustadz, tidak perlu menunggu menjadi Kiai, Da’i dan apapun namanya, yang terpenting jika kita seorang muslim maka kewajiban dakwah menempel pada diri kita.

Berdakwah tentu perlu melihat kapasitas masyarakat yang kita dakwahi, dalam bahasa haditsnya Rasulullah SAW mengatakan khotibun an-nas biqadri ‘uqulihim, (omongilah masyarakat berdasarkan kadar cara berfikirnya). Jadi sesorang Da’i harus mengetahui dan memahami benar kondisi masyarakat yang dijadikan objek dakwah.

Di zaman Walisongo mayoritas masyarakat adalah pemeluk Hindu-Budha, tidak mudah tentunya ajaran agama baru bisa diterima di tengah-tengah masyarakat yang telah lama dan mapan dalam berkeyakinan. Ada rentang waktu yang sangat lama sekali mulai awal masuknya Islam di Nusantara hingga agama Rasul ini benar-benar diakui dan dipeluk oleh masyarakat Nusantara.

Menurut catatan Dinasti Tang dari Cina yang berkunjung ke kerajaan Kalingga di Jawa pada tahun 674 M telah ada pemeluk agama Islam. Dalam catatan Marcopolo tahun 1292 M ketika ia singgah di pelabuhan Perlak Aceh setidaknya ada tiga kelompok masyarakat yaitu:

1. Cina yang semuanya beragama Islam.
2. Barat (Persia).
3. Pribumi penyembah Batu, pohon, ruh.

Pada tahun 1405 M datanglah Laksamana Cheng Ho ke Jawa dan singgah di Tuban. Ia mencatat setidaknya terdapat 1000 keluarga Cina yang memeluk agama Islam. Pada tahun 1433 M, Cheng Ho kembali berkunjung ke Jawa dengan mengajak juru tulisnya Ma Huan. Menurut catatan Ma Huan saat itu pemeluk agama Islam hanyalah pendatang dari Arab dan Cina, sedang penduduk pribumi masih menyembah batu dan ruh-ruh nenek moyang.

Baru pada tahun 1440 M, datanglah seorang wali dari Champa yaitu Syekh Ibrahim Samarqandi dan kedua anaknya Ali Murtadho dan Ali Rahmat datang ke Jawa. Pada fase ini Islam juga masih sulit berkembang. Baru setelah masa Ali Rahmat yang dikenal dengan nama Sunan Ampel berdakwah dan mendirikan pesantren, Islam mulai diterima oleh penduduk pribumi. Apalagi setelah anak-anaknya dan murid-muridnya membantunya berdakwah dalam institusi Walisongo Islam dengan cepat merambah ke pedalaman-pedalaman.

Jika pada tahun 1443 M Islam hanya dipeluk oleh penduduk pendatang maka dalam rentang 40 tahun, menurut catatan Tome Pires seorang Portugis yang datang ke Jawa tahun 1513 M, ia mencatat bahwa sepanjang pantai utara Jawa, penguasanya adalah Bupati-bupati yang telah memeluk ajaran Islam. Sungguh pencapaian dakwah yang sangat luar biasa dan menakjubkan.

Di antara rahasia dakwah Walisongo yang dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat di antaranya adalah dari cara dakwah dan komunikasi dakwah yang dibangun Walisongo yang memahami benar apa yang disebut sebagai Fiqih Dakwah.

Walisongo tidak terjebak pada ajaran tekstualitas sebuah kitab suci, namun ajaran-ajaran dari kitab suci itu dialih-bahasakan dengan cara yang sederhana, mudah dipahami dan sesuai dengan kondisi serta kultur masyarakat. Atau dalam bahasanya Gus Dur disebut membumikan Alquran.

Kita ambil contoh fiqih dakwahnya Sunan Bonang, di dalam serat Darmo Gandhul yang ditulis oleh Ki Kalamwadi dinyatakan bahwa kala itu Sunan Bonang bersama dua santrinya pergi ke desa Gedah yang ada di Kediri.

Kalau kita mengupas isi dari serat Darmo Gandhul di situ banyak kepalsuan-kepalsuan dan fitnah yang sengaja dihembuskan untuk merusak citra dan ajaran Islam, termasuk di antaranya merusak citra dari Sunan Bonang Sendiri.

Kita tahu tahu Kediri kala itu adalah pusat dari ajaran sesat penganut ajaran Tantrayana dari sekte Bairawa Tantra, sebuah aliran yang memuja Dewi Durga. Bairawa Tantra tidak hanya dipandang sesat menurut ajaran Islam namun oleh keyakinan masyarakat sendiri aliran ini sesat dan meresahkan.

Menutut KH. Agus Sunyoto, Bairawa Tantra mempunyai ritual yang disebut sebagai Panca Makara atau malima. Malima di sini bukan seperti yang kita kenal sekarang, namun malima menurut ajaran Bairawa Tantra adalah mamsa (daging), matsya (ikan), madya (arak), maithuna (seksual), dan mudra (semedi).

Selanjutnya penganut Bairawa Tantra baik laki-laki maupun perempuan bertelanjang membuat lingkaran yang dikenal dengan istilah Ksetra. Di tengah-tengahnya disediakan daging, ikan dan arak. Setelah makan-makan bersama mereka melakukan persetubuhan (maituna) beramai-ramai. Setelah itu mereka melakukan semedi.

Lebih mengerikan lagi jika tingkatan dari para penganut Bairawa ini telah tinggi daging yang disediakan bukan lagi daging hewan namun daging manusia, ikannya ikan sura (hiu), sedang araknya diganti dengan darah manusia.

Kedatangan Sunan Bonang ke Kediri ini dalam rangka berdakwah dan mengajarkan Islam kepada masyarakat Kediri. Tentu ritual Bairawa Tantra sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang memakan binatang untuk persembahan, melarang hubungan seks bebas, dan melarang minum-minuman keras, apalagi sampai makan daging manusia dan meminum darahnya.

Oleh karena itu Sunan Bonang membuat acara yang mirip dengan upacara Panca Makaranya Bairawa Tantra yaitu ia kumpulkan masyarakat yang pada saat itu laki-laki semua di sebuah tempat, kemudian disediakan makanan, kemudian Sunan Bonang mengajari mereka berdo’a, setelah itu mereka makan bersama.

Inilah yang akhirnya kita kenal dengan nama kenduri atau slametan. Untuk menandingi aliran Bairawa Sunan Bonang menggunakan gelar Sunan Wadat Cakrawati, karena pemimpin aliran Bairawa saat itu bergelar Cakra Iswara (Cakreswara). Sungguh sangat sempurna dakwah yang dipilih oleh Wali dari Tuban ini.

Jika dulu aliran Bairawa Tantra di Kediri pada masa Raja Airlangga yang dipendekari oleh seorang Janda dari Desa Girah yaitu Nyai Calon Arang yang menebar petaka di seluruh penjuru Kediri dapat ditaklukkan oleh Empu Barada, maka di zaman Majapahit akhir, pendeta Bairawa Cakra Iswara yang menebar Panca makara dapat ditaklukkan oleh Sunan Bonang Sang Sunan Wadat Cakrawati dari Tuban dengan kendurinya.

Masyarakat ternyata pun sangat respek dengan upacara yang baru dibuat oleh Sunan Bonang ini sehingga mereka melestarikannya hingga sampai sekarang. Jadi pada hakekatnya Kenduri atau selamaten bukanlah ajaran Hindu maupun Budha, namun ini adalah hasil dari ijtihad Fiqih yang dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan-sunan yang lainnya dalam rangka berdakwah kepada masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat Nusantara pada umumnya

Dikutip dari : bloktuban.com | Sunday, 12 June 2016 17:00

Selamatan Sebelum Pemasangan

Silaturahmi Memperpanjang Umur

Suatu hari malaikat Izrail, malaikat pencabut nyawa, memberi tahu Nabi Daud a.s., bahwa si Fulan tinggal enam hari lagi akan dicabut nyawanya.

Jam berganti jam, hari berganti hari. Lewatlah deadline yang disampaikan oleh Izrail tentang si Fulan itu, tetapi nyatanya si Fulan itu masih tetap saja hidup terus. Maka, bertanyalah Nabi Daud kepada Izrail perihal kejadian ini.

“Mengapa si Fulan masih saja hidup terus, padahal engkau katakan beberapa hari yang lalu umurnya tinggal enam hari lagi, ya Izrail? Sekarang enam hari sudah berlalu sejak kau mengatakannya padaku, gerangan apakah ini?

Izrail memberi penjelasan kepada Nabi Daud. “Sebetulnya, aku sudah akan mencabut nyawanya tepat di hari yang aku katakan padamu itu. Tetapi, kemudian Allah memerintahkan kepadaku agar menunda dulu hal itu.”

“Mengapa demikian, ya Izrail?”

“Sejak hal itu aku katakan kepadamu, si Fulan tampak rajin menyumbang tali persaudaraan dengan sesama saudaranya yang sudah putus. Karena itu, Allah memberi tambahan umur selama 20 tahun kepadanya.”

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Tim Poliyama Widya Pustaka

KISAH SAHABAT

Dialog antara Seorang Sahabat dengan Anak Kecil

Salah seorang Sahabat pernah bercerita bahwa pada suatu hari ia masuk ke dalam salah satu masjid. Ketika itu ia melihat seorang anak laki-laki yang berumur kurang lebih sepuluh tahun sedang melakukan salat dengan khusyuknya. Setelah anak itu selesai melakukan salat, sahabi itu mendekatinya dan bertanya sesuatu kepadanya, dan terjadilah dialog antara keduanya.

“Siapa ayahmu, Nak?” tanya shahabi itu.
“Saya yatim piatu. Ayah dan ibu saya telah meninggal,” jawab si anak itu.
Lalu ketika sahabi itu menawarkan diri untuk menjadi orang tua asuhnya, si anak menjawab, “Apakah tuan akan memberiku makan bila aku lapar? Memberiku minum bila aku kehausan? Memberiku pakaian bila aku memerlukannya? Dan menghidupkanku bila aku mati?”
Sahabi itu kaget atas pertanyaan terakhir. Sebab, menghidupkan seseorang setelah mati di luar kekuasaan manusia. Seakan-akan si anak itu mengemukakan argumentasi seperti yang terdapat dalam surat asy-Syu’araa’ ayat 78-81 yang artinya, “Yaitu Tuhan, yang telah menciptakan aku, maka Dia menunjuki aku. Dan Tuhanku, Dia-laj yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkan aku, dan Dia-lah yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku kembali.”
Sahabi itu menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Adapun permintaanmu yang terakhir itu, menghidupkan sesudah mati, bukanlah kewenanganku. Aku tidak sanggup melakukannya.”
Mendengar jawaban sahabi yang demikian, anak itu kemudian berpaling sambil berkata, “Kalau begitu silahkan tuan tinggalkan aku. Biarkanlah aku menghadap Allah yang menciptakan aku, yang memberi rezeki kepadaku, dan yang menghidupkan aku setelah mati.”
Sahabi terdiam kagum melihat kecerdasan dan keimanan anak itu. Ia hanya bisa memandangnya berlalu dari hadapannya. Sungguh anak sekecil itu telah memiliki harta yang sangat mahal harganya, yaitu tauhid yang kuat.

Disarikan dari : Al-Islam – Pusat Informasi danKomunikasi Islam Indonesia

Doa Kamilin, Doa Setelah Sunah Tarawih Ramadan

Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih merupakan ibadah yang dianjurkan dalam bulan Ramadhan. Jika siang hari umat Islam melaksanakan puasa, maka malam hari adalah kesempatan bagi mereka menghidupkan Ramadhan dengan shalat tarawih.   Petunjuk tentang kesunnahan shalat tarawih mengacu pada hadits:

  مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ  

“Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).   Syekh Khatib al-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj menjelaskan bahwa ulama sepakat soal makna “qâma ramadlâna” di dalam hadits tersebut diarahkan pada shalat tarawih.   Baca juga:  • Dalil dan Keutamaan Shalat Tarawih • Mengapa Jumlah Rakaat Tarawih Berbeda-beda? Ini Penjelasannya   Sebagaimana istimewanya bulan Ramadhan, salah satu momentum yang sayang dilewatkan adalah berdoa dan bermunajat di malam hari. Sebagai bulan kasih sayang (rahmah), ampunan (maghfirah), dan pembebasan dari neraka (itqum minan nar), doa pada bulan suci ini lebih berpahala dan lebih potensial dikabulkan. Apalagi dilaksanakan di malam hari, yang mungkin saja bertepatan dengan Lailatul Qadar, suatu malam yang disebut Al-Qur’an lebih baik dari seribu bulan.

Selain merupakan wahana menumpahkan permohonan kepada Sang Khalik, doa mencerminkan pula sebuah ekspresi ketundukan, kepasrahan, dan kerendahan hati di hadapan-Nya. Doa bisa diungkapkan dengan bahasa apa saja, oleh siapa saja, dan dilakukan kapan saja, termasuk usai shalat tarawih pada Ramadhan kali ini.   Berikut ini adalah doa yang lazim dibaca para ulama setiap selepas sembahyang tarawih. Doa ini popular dengan sebutan “doa kamilin”.   

 اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لِوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَبِحُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِأَكْوَابٍ وَّأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه أَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Artinya, “Yaa Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang memenuhi kewajiban-kewajiban, yang memelihara shalat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akhirat, yang ridha dengan qadla-Mu (ketentuan-Mu), yang mensyukuri nikmat, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad, pada hari kiamat, yang mengunjungi telaga (Nabi Muhammad), yang masuk ke dalam surga, yang selamat dari api neraka, yang duduk di atas ranjang kemuliaan, yang menikah dengan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutra ,yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Itulah keutamaan (anugerah) dari Allah, dan cukuplah bahwa Allah Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk orang-orang yang bahagia dan diterima amalnya, dan janganlah Engkau jadikan kami tergolong orang-orang yang celaka dan ditolak amalnya. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas junjungan kami Muhammad, serta seluruh keluarga dan shahabat beliau. Berkat rahmat-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Tampak bahwa nama “kâmilîn” diambil dari redaksi pembuka doa ini yang memohon terbentuknya pribadi-pribadi sempurna (kâmilîn) dalam hal keimanan. Substansi doa ini cukup komplet, meliputi aspek duniawi dan ukhrawi, kenikmatan dan kesulitan, meminta kerbekahan malam mulia, diterimanya amal, dan lain sebagainya. Doa yang hampir selalu dibaca oleh umat Islam di Tanah Air ini juga  termaktub dalam kitab-kitab doa ulama Nusantara, salah satunya Majmû‘ah Maqrûât Yaumiyah wa Usbû‘iyyah karya pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH Muhammad bin Abdullah Faqih (rahimahullâh). Pada lembar pengantar, sang ayah, KH Abdullah Faqih, mengatakan bahwa doa-doa dalam kitab itu merupakan hasil ijazah dari Kiai Abdul Hadi (Langitan), Kiai Ma’shum (Lasem), Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. KH Abdullah Faqih memberikan restu atau ijazah kepada siapa saja yang mengamalkan (dengan ijâzah munâwalah).   Wallâhu a’lam bish shawâb.