Dakwah adalah kewajiban setiap muslim, siapapun dia tanpa memandang status sosial ataupun status keagamaannya. Dakwah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim sebagai perwujudan dari sabda Nabi ballighuunii wa law aayatan.(sampaikan apa yang ada padaku walaupun hanya satu ayat saja). Jadi untuk berdakwah tidak perlu menunggu menjadi Ustadz, tidak perlu menunggu menjadi Kiai, Da’i dan apapun namanya, yang terpenting jika kita seorang muslim maka kewajiban dakwah menempel pada diri kita.

Berdakwah tentu perlu melihat kapasitas masyarakat yang kita dakwahi, dalam bahasa haditsnya Rasulullah SAW mengatakan khotibun an-nas biqadri ‘uqulihim, (omongilah masyarakat berdasarkan kadar cara berfikirnya). Jadi sesorang Da’i harus mengetahui dan memahami benar kondisi masyarakat yang dijadikan objek dakwah.

Di zaman Walisongo mayoritas masyarakat adalah pemeluk Hindu-Budha, tidak mudah tentunya ajaran agama baru bisa diterima di tengah-tengah masyarakat yang telah lama dan mapan dalam berkeyakinan. Ada rentang waktu yang sangat lama sekali mulai awal masuknya Islam di Nusantara hingga agama Rasul ini benar-benar diakui dan dipeluk oleh masyarakat Nusantara.

Menurut catatan Dinasti Tang dari Cina yang berkunjung ke kerajaan Kalingga di Jawa pada tahun 674 M telah ada pemeluk agama Islam. Dalam catatan Marcopolo tahun 1292 M ketika ia singgah di pelabuhan Perlak Aceh setidaknya ada tiga kelompok masyarakat yaitu:

1. Cina yang semuanya beragama Islam.
2. Barat (Persia).
3. Pribumi penyembah Batu, pohon, ruh.

Pada tahun 1405 M datanglah Laksamana Cheng Ho ke Jawa dan singgah di Tuban. Ia mencatat setidaknya terdapat 1000 keluarga Cina yang memeluk agama Islam. Pada tahun 1433 M, Cheng Ho kembali berkunjung ke Jawa dengan mengajak juru tulisnya Ma Huan. Menurut catatan Ma Huan saat itu pemeluk agama Islam hanyalah pendatang dari Arab dan Cina, sedang penduduk pribumi masih menyembah batu dan ruh-ruh nenek moyang.

Baru pada tahun 1440 M, datanglah seorang wali dari Champa yaitu Syekh Ibrahim Samarqandi dan kedua anaknya Ali Murtadho dan Ali Rahmat datang ke Jawa. Pada fase ini Islam juga masih sulit berkembang. Baru setelah masa Ali Rahmat yang dikenal dengan nama Sunan Ampel berdakwah dan mendirikan pesantren, Islam mulai diterima oleh penduduk pribumi. Apalagi setelah anak-anaknya dan murid-muridnya membantunya berdakwah dalam institusi Walisongo Islam dengan cepat merambah ke pedalaman-pedalaman.

Jika pada tahun 1443 M Islam hanya dipeluk oleh penduduk pendatang maka dalam rentang 40 tahun, menurut catatan Tome Pires seorang Portugis yang datang ke Jawa tahun 1513 M, ia mencatat bahwa sepanjang pantai utara Jawa, penguasanya adalah Bupati-bupati yang telah memeluk ajaran Islam. Sungguh pencapaian dakwah yang sangat luar biasa dan menakjubkan.

Di antara rahasia dakwah Walisongo yang dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat di antaranya adalah dari cara dakwah dan komunikasi dakwah yang dibangun Walisongo yang memahami benar apa yang disebut sebagai Fiqih Dakwah.

Walisongo tidak terjebak pada ajaran tekstualitas sebuah kitab suci, namun ajaran-ajaran dari kitab suci itu dialih-bahasakan dengan cara yang sederhana, mudah dipahami dan sesuai dengan kondisi serta kultur masyarakat. Atau dalam bahasanya Gus Dur disebut membumikan Alquran.

Kita ambil contoh fiqih dakwahnya Sunan Bonang, di dalam serat Darmo Gandhul yang ditulis oleh Ki Kalamwadi dinyatakan bahwa kala itu Sunan Bonang bersama dua santrinya pergi ke desa Gedah yang ada di Kediri.

Kalau kita mengupas isi dari serat Darmo Gandhul di situ banyak kepalsuan-kepalsuan dan fitnah yang sengaja dihembuskan untuk merusak citra dan ajaran Islam, termasuk di antaranya merusak citra dari Sunan Bonang Sendiri.

Kita tahu tahu Kediri kala itu adalah pusat dari ajaran sesat penganut ajaran Tantrayana dari sekte Bairawa Tantra, sebuah aliran yang memuja Dewi Durga. Bairawa Tantra tidak hanya dipandang sesat menurut ajaran Islam namun oleh keyakinan masyarakat sendiri aliran ini sesat dan meresahkan.

Menutut KH. Agus Sunyoto, Bairawa Tantra mempunyai ritual yang disebut sebagai Panca Makara atau malima. Malima di sini bukan seperti yang kita kenal sekarang, namun malima menurut ajaran Bairawa Tantra adalah mamsa (daging), matsya (ikan), madya (arak), maithuna (seksual), dan mudra (semedi).

Selanjutnya penganut Bairawa Tantra baik laki-laki maupun perempuan bertelanjang membuat lingkaran yang dikenal dengan istilah Ksetra. Di tengah-tengahnya disediakan daging, ikan dan arak. Setelah makan-makan bersama mereka melakukan persetubuhan (maituna) beramai-ramai. Setelah itu mereka melakukan semedi.

Lebih mengerikan lagi jika tingkatan dari para penganut Bairawa ini telah tinggi daging yang disediakan bukan lagi daging hewan namun daging manusia, ikannya ikan sura (hiu), sedang araknya diganti dengan darah manusia.

Kedatangan Sunan Bonang ke Kediri ini dalam rangka berdakwah dan mengajarkan Islam kepada masyarakat Kediri. Tentu ritual Bairawa Tantra sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang memakan binatang untuk persembahan, melarang hubungan seks bebas, dan melarang minum-minuman keras, apalagi sampai makan daging manusia dan meminum darahnya.

Oleh karena itu Sunan Bonang membuat acara yang mirip dengan upacara Panca Makaranya Bairawa Tantra yaitu ia kumpulkan masyarakat yang pada saat itu laki-laki semua di sebuah tempat, kemudian disediakan makanan, kemudian Sunan Bonang mengajari mereka berdo’a, setelah itu mereka makan bersama.

Inilah yang akhirnya kita kenal dengan nama kenduri atau slametan. Untuk menandingi aliran Bairawa Sunan Bonang menggunakan gelar Sunan Wadat Cakrawati, karena pemimpin aliran Bairawa saat itu bergelar Cakra Iswara (Cakreswara). Sungguh sangat sempurna dakwah yang dipilih oleh Wali dari Tuban ini.

Jika dulu aliran Bairawa Tantra di Kediri pada masa Raja Airlangga yang dipendekari oleh seorang Janda dari Desa Girah yaitu Nyai Calon Arang yang menebar petaka di seluruh penjuru Kediri dapat ditaklukkan oleh Empu Barada, maka di zaman Majapahit akhir, pendeta Bairawa Cakra Iswara yang menebar Panca makara dapat ditaklukkan oleh Sunan Bonang Sang Sunan Wadat Cakrawati dari Tuban dengan kendurinya.

Masyarakat ternyata pun sangat respek dengan upacara yang baru dibuat oleh Sunan Bonang ini sehingga mereka melestarikannya hingga sampai sekarang. Jadi pada hakekatnya Kenduri atau selamaten bukanlah ajaran Hindu maupun Budha, namun ini adalah hasil dari ijtihad Fiqih yang dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan-sunan yang lainnya dalam rangka berdakwah kepada masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat Nusantara pada umumnya

Dikutip dari : bloktuban.com | Sunday, 12 June 2016 17:00

Selamatan Sebelum Pemasangan

Tinggalkan komentar